welcom 2 d_she blog! GO!

Foto saya
Saya saat ini masih duduk di bangku kelas tiga SMA,tapi dalam hitungan bulan saya akan cepat2 meninggalkan SMA fav saya tersebut...saya ingin cepat lulus, serta meneruskan kuliah di UNNES fakultas matematika kependidikan...atau STAN... success 4 me, because i'll try to get it...jia you!!!

Check Out my SlideSHOW...

MiniGameZ

Minggu, 30 November 2008

Kesalahpahaman

NAMANYA Ferderika, seorang anak remaja yang sedang duduk di bangku SMA kelas X di suatu sekolah SMA Negeri di Jakarta.

Hari itu hari selasa, seperti biasa Ferderika bangun agak siang, pukul 06.00. Padahal sekolah dimulai jam 06.30. Dia tahu kalau hari itu ada jam pelajaran kesenian. Pelajaran kesenian pada hari itu rencananya akan diadakan praktek tari. Praktek itu akan diadakan di luar kelas pada sore hari. Ibu guru seni tari itu bernama bu Endar.

“Teng… teng… teng…”, bel sekolah itu berbunyi tepat pukul 07.00.

Terlihat di lapangan depan sekolah itu seorang perempuan sedang berlari dengan terburu-buru menuju ke gedung sekolah. Siswi itu tampak sangat kecapaian, terlihat dari keringat yang mengucur dari seluruh tubuhnya. Sering kali siswi itu melihat kearah jam yang ada ditangannya.

“Duh, gue telat nih, apalagi pelajaran pertama bu Endar lagi”, kata siswi yang sedang berlari itu sambil menuju ke lorong yang menuju ke kelasnya.

Terlihat bet yang menggantung di dadanya. Namanya Shaffira Ferderika Noviana. Tubuhnya semampai, rambutnya terurai panjang dan berponi ke sebelah kiri, kulitnya yang kuning langsat itu membuatnya disukai banyak cowok. Ferderika sangat suka berpakaian dengan rapih, dia tidak suka berpakaian yang aneh-aneh, seperti yang banyak dikenakan remaja pada akhir-akhir ini. Ferderika juga termasuk anak yang pintar dan rajin yang membuatnya banyak disukai oleh guru-guru khususnya mata pelajaran eksak. Hanya ada sesuatu yang membuatnya dibenci oleh seorang guru kesenian, sesuatu itu adalah karena dia sering terlambat. Dan guru kesenian itu sangat membenci anak yang terlambat.

Di dalam kelas, suasana yang sebelumnya gadh tiba-tiba enjadi hening tepat saat pintu geser di kelas itu terbuka. Terlihat sosok permpuan killer yang matanya langsung menjelajah ke seluruh pejuru kelas. Semua kursi tampak terisi, tetapi ada satu kursi kososng yang terletak di pojok depan. Mata guru killer tersebut langsung menuju ke kursi kosong tersebut dan menanyakan ke seorang siswi yang ada disebelahnya dengan mata seram.

“Kemana Ferderika?”, Tanya guru killer itu.

“Ferderika…”, perkataannya terputus saat akan menjawab pertanyaan tersebut karena mendengar suara pintu geser kembali terbuka.

Ferderika tampak terengah-engah sambil memegang pintu geser tersebut. Badannya berkeringat, dan wajahnya tampak memerah.

“Maaf bu, saya terlambat”, kata Ferderika sambil ketakutan menatap kearah guru killer itu.

“Kenapa bisa terlambat? Padahal sudah saya kasih tahu kalau ada pelajaran saya, harus tepat waktu!”

“Maaf bu…”

“Ya sudah, jangan diulangi lagi! Dan kembali ke tampat dudukmu!”

“Terima kasih bu…”

Ferderika menuju ke tempat duduknya di sebelah Vita.

“Vit, Bu Endar galak banget yah, padahal Cuma telat sedikit, sudah dimarahin begitu”, kata Ferderika masih sambil sedikit kecapaian.

“Yah, begitulah Bu Endar, kamu sudah tahu kan kalau Bu Endar itu killer, tapi kenapa kamu masih terlambat?”

“Soalnya…”

“Ferderika!!! Sudah terlambat, di kelas masih cerita sendiri! Perhatikan saya atau akan saya beri hukuman kamu!”, teriak Bu Endar dengan muka yang garang.

“Ya bu, maaf bu”, jawab Ferderika dengan suara yang bergetar. Ia tampak sangat ketakutan karenanya.

Sepertinya waktu berjalan sengat cepat dan waktu dua jam pun serasa seperti duapuluh menit. Pelajaran Bu Endar pun sebentar lagi usai.

“Anak-anak, jangan lupa nanti sore berangkat jam 3 buat praktek tari, dan jangan ada yang terambat semenitpun!”, kata Bu Endar dengan nada yang galak.

“Ya bu…” kata para siswa di kelas tersebut serempak.

Di pojok kelas, tempat duduk paling belakang duduklah seorang pria berrambut pendek yang mukanya agak sedikit jerawatan dan berkulit sawo matang. Dia sedang melihat kea rah Ferderika dengan agak tersenyum.

“Woy Fred!”, tiba-tiba ada seorang pria yang menyenggol bahunya dengan tangannya.

“Jangan ngelamun mulu! Ngelamunin siapa hayo?”, kata pria yang tadi menyenggol Fred dengan nada sedikit menggoda.

“Huh! Sukanya mbuyarin pikiran orang, ya sudah ayo pulang!”, jawab Fred sinis.

“Yah, gitu aja sewot, lo ga asik ah, mank lo ngelamunin siapa sih?”

“Pengen tau?”

“Ya, gue pengen tahu lah makannya aku nanya, gimana sih lo?!”

“Gue ngelamunin kucing gue yang lagi e’ek tahu di rumah! Ha ha ha ha…”, kata Fred sambil tertawa senang karena Fred merasa kalau dia berhasil membodohi temannya itu.

“Huh, dasar lo! Ya sudah, gue cabut duluan yah!”, kata temannya Fred sambil setengah berlari menjauhi Fred menuju ke parkiran mobil.

“Ya udah sana!”

Fred juga berjalan kearah parkiran mobil. Dia merogoh sakunya, diambilnya kunci mobilnya dan ditekannya tombol merah yang ada di kunci itu.

Terdengar suara bunyi “tiut” dan lampu sein menyala dari mobil yang ada di sudut parkiran itu. Mobil itu berwarna biru metalik.

Fred pulang mengendarai Honda Jazznya yang baru dibelinya saat dia ulang tahun kemarin.

Sesampainya di rumah, Fred langsung menuju ke kamarnya dan meletakkan tasnya di atas ranjangnya. Fred lalu langsung menjatuhkan dirinya di ranjangnya yang empuk.

Sembari tiduran, ia mengambil tasnya dan mengambil ponselnya yang bermodel flip. Lalu ia mengoperasikan ponselnya untuk mencari kontak Edy, sahabat karibnya.

“Edy tahu nomernya Ferderika nggak yah?”, piker Fred sambil terus mengoperasikan ponselnya menuju ke layanan pesan.

Setelah selesai mengetik, lalu dia mengirimkan pesan tersebut kepada Edy.

Sambil menunggu jawaban pesan dari Edy, Fred bangkt dar ranjangnya lalu menuju ke dapur untuk mengambil sedikit minuman. Fred tampak haus sekali, soalnya hari ini Fred sama sekali tidak pergi ke kantin. Ya, dompetnya lupa ia bawa. Biasalah, kalau seseorang sudah memikirkan tentang cewek, hal-hal yang kecil entah apa itu pasti ada yang lupa.

Setelah selesai menghabiskan minumannya yang dingin, Fred tiba-tiba mendengar suara dering ponselnya. Ia tahu kalau itu adala nada dering yang menandakan ada pesan masuk.

Pasti itu dari Edy. Fred langsung menaruh gelasnya di atas meja lalu langsung berlari menuju ke arah kemarnya.

Di kamarnya, ia lalu mengambil ponsel flipnya yang tergeletak di atas kasur dan layar eksternalnya masih menyala.

Fred lalu membuka ponselnya. Setelah membaca pesan itu, wajah yang sumringah tampak jelas di wajah Fred.

“Yes! Akhirnya kudapatkan nomornya!”, katanya sambil meninjukan kepalannya ke atas udara.

Fred langsung menjatuhkan lagi tubuhnya ke ranjangnya dan langsung mengoperasikan ponselnya untuk menyimpan nomor kontak yang baru saja didapatnya, dan disimpannya dengan nama “Ferderika”.

Tanpa pikir panjang ia langsung mengirim pesan ke Ferderika. Tampak di layar ponsel Fred sedang mengetik,”Hai, kamu Ferderika kan? Boleh kenalan nggak?”. Setalah selesai, Fred langsung menekan tombol “Send”.

Tak lama menunggu akhirnya pesan Fred itu langsung dibalas oleh Ferderika.

“Hai juga, ya aku Ferderika, boleh kok, kamu siapa?”, balas Ferderika dalam pesan itu.

Bagus!, Fred sangat senang dapat balasan yang positif dari Ferderika. Tanpa pikir panjang-pun Fred langsung membalasnya lagi.

Lalu Fred membalas dengan mengetik,”Aku Fred, teman sekelasmu, tapi aku nggak terlalu kenal ma kamu, makannya aku pengin lebih kenal ma kamu. Boleh nggak?”, lalu Fred kembali mengirimnya kepada Ferderika.

Tidak ada dua menit, ponsel Fred berdering lagi yang menandakan ada pesan masuk.

Di dalam pesan tersebut Ferderika menjawab,”Oh, kamu Fred yah? Ya boleh kok. Eh, ntar yah aku mau siap-siap buat berangkat praktek tari dulu”

Muka Fred mengerut saat membaca balasan pesan dari Ferderika. Lalu ia mempunyai ide bagus, dan dengan segera Fred membalas pesan Ferderika dengan mengetik,”Eh, kamu mau aku jemput nggak?”

Lama ditunggu balasan dari Ferderika-pun tak kunjung datang. Akhirnya Fred memutuskan untuk berangkat sendiri. Fred pikir mungkin pulsa Ferderika habis, jadi dia tidak bisa membalas pesan Fred.

Fred bangkit dari ranjangnya dan meletakkan ponsel flipnya di atas meja belajar yang terletak di samping ranjangnya. Lalu Fred pergi keluar kamar dan menuju ke kamar mandi untuk mandi.

Selesai mandi, Fred langsung memakai kaos oblong polos berwarna putih, tapi bagian belakangnya ada tulisan “BALI BALI”. Fred mendapatkan kaos itu saat ia berlibur di Bali. Lalu diambilnya kunci Jazznya dari atas mejanya dan langsung menuju ke garasi tempat mobilnya berada.

Fred masuk ke dalam mobilnya yang diparkir tepat ditengah-tengah garasi itu. Terlihat dasbor mobil Fred sangat terawat dan sepertinya setiap minggu Fred selalu mengelapnya hingga mengilap.

Fred menyalakan mesin mobilnya, dan akhirnya Fred pergi ke praktek seni tari itu tanpa Ferderika. Fred sangat berharap pada saat itu Ferderika duduk si kursi penumpang di sebelah Fred sambil bercanda. Tapi sepertinya ia dan Ferderika tidak akan mungkin akra secepat itu, apalagi Ferderika merupakan tipikal cewek pemalu apabila sudah berurusan dengan cowok.

Jam digital yang ada di dasbor itu menunjukkan pukul 02.46. Fred sengaja mempercepat jam yang ada di mobilnya agar ia tidak dating terlambat saat ke sekolah. Apalagi Fred tahu kalau di sekolahnya ada guru yang sangat tertib waktu seperti Bu Endar. Yah, alhasil Fred tidak pernah terlambat sampai saat ini. Ia malah pernah datang terlalu pagi saat akan ada pelajaran seni tari.

Sesampainya di sekolah Fred melihat kerumunan cewek-cewek sekelasnya dari balik kaca mobilnya. Tapi ia tidak dapat menemukan Ferderika di antara cewek-cewek itu. “Ferderika dimana yah? Masa jam segini belum berangkat? Padahal lima menit lagi masuk”, kata Fred dengan lirih. Fred lalu melihat ada tempat parkir kosong disebelah mobil Terios. Langsung saja Fred memarkirkan mobilnya disana.

Saat Fred keluar dari mobilnya, Fred melihat di ujung lapangan, tepatnya di pintu gerbang depan sekolah itu, tampak Ferderika sedang berlari dan seperti biasa tubuhnya selalu dibasahi oleh keringat. Ferderika terlihat ngos-ngosan, dan akhirnya ia sampai juga di depan gedung tari. Ferderika lalu bersender di tembok gedung tari itu, tampaknya ia sangat kecapekan.

“Teeeeet….”, suara bel sekolah itu berdering yang menandakan kalau sudah saatnya para remaja yang ada di luar gedung tari masuk ke dalam gedung untuk mengikuti praktek tari.

Bu Endar tampak berjalan masuk ke gedung tari, lalu diikuti oleh para siswa yang tadi sedang berkerumun dengan teman temannya yang sejenis kelaminnya.

Saat sudah masuk ke dalam gedung, suasana yang sebelumnya panas, berubah menjadi dingin, teduh dan sejuk. Gedung itu tampak sangat luas, seperti gedung olahraga. Banyak peralatan-peralatan tari yang tergeletak di pinggiran lantai. Kalau dihitung, jumlahnya mungkin setara dengan siswa-siswa yang sekarang sedang berada di dalam gedung. Di bagian depan ruangan itu ada lantai yang sedikit lebih tinggi ketimbang lantai yang lainnya. Biasanya lantai itu digunakan untuk para guru pembimbing yang akan menjelaskan gerakan-gerakan tari atau menjelaskan tentang teori tari. Di antara lantai yang lebih tinggi dengan lantai yang rendah dihubungkan oleh tangga kecil yang hanya terdiri dari tiga anak tangga.

Bu Endar tanpa pikir panjang langsung naik ke lantai yang lebih tinggi itu, dan langsung mengabsen siswa-siswa yang hadir. Matanya yang seperti mata elang, membuatnya tidak akan ada satupun anak lepas dari perhatiannya. Jadi, apabila ada yang membolos atau tidak ikut pelajarannya akan ketahuan dengan mudah.

Setelah selesai mengabsen, Bu Endar langsung menjelaskan tentang gerakan-gerakan tarian yang harus dipelajari oleh para siswa.

Sembari memperhatikan perkataan Bu Endar—soalnya dia tidak mau apabila tiba-tiba ditanya oleh Bu Endar, tidak bisa dijawabnya—Fred juga memperhatikan Ferderika yang ada di dalam kerumunan cewek yang berada di sampingnya. Ferderika tampak biasa-biasa saja setelah menerima pesan dariku, tidak menyapa, bahkan dia tidak melirik kepada Fred.

Penjelasan Bu Endar tentang tarian akhirnya selesai juga. “Ya, sekarang akan ibu buat pasangan-pasangan diantara kalian untuk mempraktekkan terian yang telah ibu ajarkan!”, kata Bu Endar dengan nada yang tegas seperti biasanya.

“Tolong kamu Vit, ambilkan buku absen ibu!”, pinta Bu Endar sambil menunjuk ke arah Vita.

“Baik bu”, jawab Vita. Lalu Vita beranjak dari duduknya dan mengambil buku absen milik Bu Endar, lalu menyerahkannya kepada Bu Endar. Setelah itu, Vita kembali lagi ke tempat duduknya.

“Sekarang akan ibu bacakan pasangan untuk kalian! Karena jumlah cowok dan cewek tidak sama, nanti ada salah satu murid yang harus berpasangan cewek dan cowok”, kata Bu Endar sambil membuka-buka buku absennya.

Fred tiba-tiba merasa senang. “Aku harus bersama Ferderika!”, katanya dalam hati.

Bu Endar memulai membacakan pasangan-pasangan yang sudah dibuatnya.

Dari awal nama Fred dan Ferderika beum terpanggil. Fred semakin berkeringat dingin. Sembari mendengarkan Bu Endar, Fred juga berdo’a sambil mengepalkan tangannya.

Semua siswa tampaknya sudah memiliki pasangan, tinggal Fred dan Ferderika. Dan tampaknya do’a Fred terkabulkan.

“Alfa Freddrik, kamu terpaksa saya pasangkan bersama dengan Shaffira Ferderika Noviana”, kata Bu Endar sambil menatap kearah keduanya.

Fred tiba-tiba menjad sangat senang, karena tidak percaya do’anya terkabulkan. Tetapi tiba-tiba seisi gedung kecuali Bu Endar menyorakinya. Fred dan Ferderika menjadi malu, wajah Ferderika tampak memerah, begitu pula dengan wajah Fred. Bahkan tidak hanya wajah Fred yang memerah, tapi dia juga banyak berkeringat dingin, Fred sangat grogi. Perasaan Fred saat itu bercampur aduk antara malu dan senang.

“Sudah-sudah! Sekarang mulailah berpasangan!”, perintah Bu Endar kepada siswa-siswa sambil berusaha menenangkan kegaduhan yang baru saja terjadi dengan menepuk kedua tangannya dengan keras.

Para siswa langsung menuju ke pasangan masing-masing, begitu pula dengan Fred dan Ferderika. Dengan wajah yang malu-malu, akhirnya mereka berpasangan juga. Tangan Fred dan Ferderika bergandengan, karena memang begitu instruksi dari Bu Endar. Fred tampak sangat gembira sekali.

Seiring degan berjalannya waktu, Fred tidak lagi grogi berpasangan dengan Ferderika.

Praktek taripun usai. Ferderika memisahkan diri dari Fred, dan kembali ke kerumunan cewek. Fred bingung kenapa bisa terjadi, tapi akhirnya Fred dapat berpikir positif. “Ah mungkin karena dia malu, jadi dia melepaskan tanganku”, pikirnya dalam hati.

Kelas dibubarkan, Fred menuju ke mobilnya yang tadi diparkirkan disebelah Terios milik temannya. Fred mencari-cari Ferderika untuk diajak pulang bersama. Tapi Fred tidak menemukannya. Tampaknya Ferderika sudah buru-buru pulang. Akhirnya Fred pulang dengan sedikit kecewa.

Sesampainya di rumah, Fred langsung menuju ke kamarnya dan duduk di ujung ranjangnya. Fred mengambil ponselnya yang ada ditasnya dan langsung membuka lalu mengoperasikannya untuk mengirim pesan. Fred ingin mengirim pesan kepada Ferderika tentang praktek tari tadi.

Setelah selesai mengetik pesannya, Fred langsung menekan tombol “Send”.

Fred menunggu lama, tapi pesannya tidak kunjung dibalas. Fred merasa aneh, “Apa yang terjadi dengannya?”, pikirnya dalam hati.

Hari semakin gelap karena jam analog yang menggantung di dinding kamarnya menunjukkan pukul 06.00. Fred akhirnya menaruh ponselnya di atas meja, lalu melanjutkan aktifitas sehari-harinya di rumah.

Esoknya di sekolah.

Fred, seperti biasanya berangkan lebih awal dibandingkan dengan teman-temannya. Ferderika juga tidak seperti biasanya. Dia tampak sudah di kelas saat Fred datang. Ferderika tidak menyapa Fred saat lewat di depannya.

Sepertinya efek dari praktek tari itu sudah membuat Ferderika semakin tertutup kepada Fred. Akhirnya Fred menyerah untuk mengejar-ngejar Ferderika. Mereka semakin berjauhan, dan kembali seperti sedia kala.

Seiring dengan berjalannya waktu, Fred tidak mengganggu Ferderika lagi dengan pesan-pesannya. Dan seolah-olah kejadian sebelumnya seperti tidak pernah terjadi. Akhirnya mereka berteman seperti sedia kala tanpa ada rasa suka atau cinta dari dalam diri Fred.

 

 

Jumat, 28 Nopember 2008 pukul 05:29

 cerpen oleh : Sahid Nur Afrizal

Selasa, 18 November 2008

Cerpen Remaja, Love and love

selalu denganmu...

Cerpen ini selesai dibuat kira2 setahun yang lalu, waktu saya masih duduk di bangku SMA dan ambil bagian dalam minggu orientasi siswa baru. Entah knapa semuanya jadi inspiring banget, dan akhirnya jadi deh satu cerpen. Moga2 semuanya suka yah. Cheers! =)"
*****
Tinggg.
Kuhela napas panjang saat pintu lift di depanku perlahan menggeser terbuka. Memperlihatkan kekosongan lantai satu yang menanti diluarnya.
Langkah kakiku keluar kian berat menjejak, dan kusadari betapa letihnya aku. Seharian mengurusi program orientasi siswa baru betul-betul memeras selutuh energiku; rasanya sekarang aku hanya ingin cepat pulang, melempar diri ke atas ranjang, lalu tidur terlelap sampai besok pagi.
Baru dua hari selesai dari total lima hari penuh masa orientasi. Masih ada tiga hari penuh keringat dan air mata yang menanti, namun sekujur badanku sudah mulai menjerit-jerit kelelahan. Dan bagaimana bisa si ketua OSIS ceroboh menyebalkan itu masih tega menyerahkan segala tanggung jawab mengurusi acara kebersamaan siswa Jumat nanti kepadaku? As if menjadi pembimbing kelas, pengurus games, dan penghubung tim paduan suara sudah tidak cukup menyita waktu, perhatian, serta tenagaku. Andai saja si bodoh itu punya sedikit saja tempat lebih di otak lemahnya untuk bisa peduli pada penderitaan bawahan tertindas.
Fiuh. Apalah. Yang penting hari ini sudah selesai, dan aku akhirnya bisa pulang. Biarlah masalah itu kupikirkan besok.
Dengan gontai kuseberangi lobi utama lantai satu dengan postman bag favoritku menggantung berat di pundak kanan, mencoba mengusir denyut-denyut mengganggu yang mulai menyerang kepalaku. Keremangan suasana yang familier menyapa penglihatanku. Sudah sore juga rupanya. Selama rapat evaluasi sekaligus beres-beres tadi aku tidak begitu memperhatikan waktu. Kulihat bayangan wajahku membias di salah satu kaca etalase piala yang berdiri disana-sini; ya ampun, aku terlihat berantakan. Rambutku awut-awutan, mukaku pucat, dan ada bulatan hitam menggantung semu di bawah dua mataku.
Aduh. Sudah pusing, capek, jelek, lapar pula. Kusadari aku belum makan apa-apa sejak pagi. Sial. Lebih baik aku bergegas pulang sebelum maag-ku kambuh.
Melewati akuarium ikan besar yang berdiri tegak tepat di samping pintu masuk, sempat kupejamkan mata ketika semilir angin sore lembut menerpa wajahku. Aku selalu suka hembusan angin yang sesekali lewat di daerah lobi, entah mengapa. Dan saat kembali kubuka mata, menatap jauh ke depan, aku terhenti.
Dia. Terduduk diam sendirian di tengah tangga lobi depan. Berpangku tangan, masih dengan setelan putih-birunya, ditemani name tag orientasi norak segitujuh yang tergeletak pasrah bersama ransel biru tua di sisi kirinya.
Tatapanku terkunci pada punggungnya yang lebar, sementara aku melangkah kearahnya bagai tertarik kuat oleh medan magnet tak terlihat. After all this time, aku masih tak bisa menolak pesonanya, yang membuatku tak berdaya. Kesederhanaannya. Begitu tulus, begitu bersahaja.
Aneh. Kenapa dia belum juga pulang?
Dan lidah ini terasa begitu kelu, saat dengan suara bergetar kucoba untuk menyapanya.
“H-hey…”
Hupp. Ia mendongak. Mataku menemui rautnya yang menawan. Rambut pendek acak-acakan. Alis tebal yang menaungi sepasang mata cokelat. Hidung mancung. Bibir bersemu merah muda, merekah sempurna. Dan kulit yang cokelat, terbakar matahari. Sebuah senyum manis kontan melengkapi segala keindahan itu saat ia mengenaliku.
“Hey,” ia balas menyapa, ragu. Suaranya parau, mungkin karena terlalu banyak teriak di sesi permainan tadi.
“Belum pulang?” tanyaku, mencoba terlihat kalem. Meski dalam hati aku setengah mati ingin langsung menerjang dan memeluknya erat-erat.
Ia tertawa kecil sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya, salah tingkah. “Aku… eh, gue lupa bawa kunci rumah,” ucapnya awkward, menghindari tatapan mataku.
Aku ikut tertawa. Kuambil posisi duduk di sebelah kanannya. “Gue?”
Dahinya berkerut. “Ha?”
“Iya. Gue.” Kuangkat alisku, menggodanya. “Well, don’t you mean ‘aku’?”
Ia mendengus, mengangkat bahu. “Kamu yang bilang kita harus jaga jarak di sini,” ucapnya sambil merengut. Duh, lucunya.
“Iya, tapi kan kalo lagi ada orang aja,” jawabku ringan. “Sekarang kan kita sendirian, nggak apa-apa. Lagian nggak enak, kaku-kakuan sama kamu. Pake manggil ‘kakak’ segala lagi. Aneh banget rasanya.”
Kembali ia tergelak seraya mengangguk, walau kubaca masih ada sedikit ragu bercampur cemas membekas di wajahnya.
Diam. Kuarahkan pandang ke depan, menyapu areal parkir sekolah yang hampir kosong dihadapanku. Hanya ada beberapa mobil yang kukenali sebagai kendaraan dinas sekolah masih terparkir disana. Lapangan basket yang terletak tak jauh pun terlihat sepi, tak seperti biasa; segelintir orang yang masih bermain basket disana terlihat berganti-ganti menembakkan bola ke arah ring. Suasana sekolah yang biasanya sibuk terasa amat sunyi di sore hari. Aneh. Tetapi damai.
“Kata teman-temanku, kamu hari ini galak.”
Spontan aku menoleh, menatapnya yang sedang tersenyum nakal dengan pandangan lurus ke depan. Kukerutkan dahi. “Galak? Galak apanya?”
Ia mengangkat bahu. “Nggak tau. Mereka cuma bilang, hari ini kamu lain. Murung terus, jarang senyum, jarang ngomong. Kalau ditanya juga jawabnya sinis. Padahal kemarin kan kamu ramah banget sama semuanya.”
Bayangan wajah si ketua OSIS sialan langsung berkelebat di pikiranku, dan aku pun tersenyum. “Oh, mungkin karena aku lagi sebel sama seseorang kali ya,” ucapku.
“Ha?” Ia tampak kaget. “Sama siapa? Bu-bukan sama aku, kan?”
“Bukan, bukan sama kamu kok,” Kuhela napas panjang. “Ada yang ngasih aku kerjaan tambahan pagi ini, dan aku bingung aja bagaimana cara ngerjainnya.”
“Oh.” Dianggukkannya kepala, lega. “Padahal menurut aku kamu lebih lucu kalau lagi senyum.”
Kudorong bahunya. “Gombal.”
“I’m only being honest here, sweetheart.”
“Whatever. Tetap saja terdengar gombal.”
“Ih.” Rautnya berubah cemberut. “Dibaik-baikin malah ngeledek. Ya udah. Terserah kamu.”
Aku mendelik ke arahnya. “Siapa yang ngeledek?”
“Itu, barusan…” Dipasangnya tampang merajuk. “Ternyata bener. Hari ini kamu galak.”
Kembali diam. Beberapa orang berbaju bebas tak dikenal berjalan melewatiku masuk ke dalam lobi; para alumni yang mau mengambil buku tahunan, mungkin. Tentu saja mereka terrhambat sejenak, dicegat sekaligus ditanya-tanya ketus oleh si satpam wanita menyebalkan yang senantiasa menjagai pintu depan.
Sebuah tawa kecil tak tertahan menyelip keluar dari bibirku. Membuatnya menoleh. “What’s so funny?”
“Tuh, si satpam kepo beraksi lagi,” bisikku.
Ia menoleh ke belakang, melihat orang-orang berbaju bebas tadi sedang adu mulut dengan si satpam. “Whoa. Apa setiap orang yang mau masuk ke dalam gedung sekolah harus melewati tahap itu?” Digelengkannya kepala. “Hari ini udah empat kali aku lihat ada orang nggak dikasih masuk sama dia. Benar-benar sekolah yang aneh.”
“Exactly. Welcome to my world,” Kembali kuhembuskan napas panjang. “I hate to break this to you, honey, tapi kayaknya kamu memilih sekolah yang salah.”
“Mungkin.” Ia mengorek tasnya, mengeluarkan sesuatu yang ternyata adalah sebatang cokelat. Diberikannya cokelat itu padaku yang hanya menatapnya tak mengerti.
“Nih makan, kamu pasti lapar,” ujarnya.
Kuterima cokelat itu dengan bingung. “Kamu… Kok tahu aku lapar?”
Ia tersenyum. “Aku tahu kamu sibuk banget hari ini. Karena sibuk, pasti kamu belum sempat benar-benar makan. Aku kan kenal kamu.”
Kutatap wajahnya. Ada kelembutan di sana, yang kian menggetarkanku, meluluhkanku.
“Thanks…” desahku akhirnya, terharu.
“Anytime. Janji ya, besok walaupun sibuk tetap harus ingat makan.”
“Uhm… Iya, janji.”
Sembari sibuk mengunyah cokelat, sembunyi-sembunyi kucuri pandang ke arahnya, yang masih terduduk manis di sisi kiriku. Aku selalu suka melihatnya dalam balutan kemeja putih dan celana pendek birunya ini. Ia terlihat lucu, childish sekaligus matang. Seakan jejak-jejak kekanakan masih enggan meninggalkannya, walaupun kini ia sudah bisa dibilang beranjak dewasa. Celana pendeknya terlihat kekecilan, begitu juga dengan kemeja putihnya yang kancing paling atasnya dibiarkan terbuka. Angin sore yang masih bersemilir sesekali mengacak-acak rambutnya, mengibarkan ujung kerahnya. Sebuah pemandangan indah yang menggetarkan.
Ah. Jika memang benar ada sesuatu yang bisa dibilang sempurna di seluruh semesta, bolehkah aku menyatakan bahwa dialah kesempurnaan itu? Karena segala hal yang dimilikinya terlihat begitu tak bercela di hadapanku. Manis. Lugu. Irresistible. Charming. Dan bercahaya. Bersinar terang bagai sejuta bintang di langit malam. Mendamaikan hati bak derasnya rinai hujan.
Aku masih ingat sapaan pertamanya di lorong sekolah tiga tahun lalu. Saat dimana aku masih mengenakan setelan putih biru yang serupa dengannya. Sapaan yang dipenuhi suara yang bergetar dan sejuta senyum canggung. Waktu itu, ia nyaris jatuh tertabrak seorang teman yang sedang berlari lewat, karena ia berdiri kaku di tengah-tengah lorong sementara berbicara denganku. Dengan refleks aku sempat menahan pundaknya, mencegahnya jatuh berdebum di lantai. Pandangan kami bertemu, dan sejak saat itulah kurasakan reaksi kimia yang berhasil memercikkan bara cinta antara aku dan dia. Nyala api yang tak padam oleh waktu, namun malah mematangkan esensi. Bukankah itu yang semua orang cari?
Sekarang, saat deru jalannya masa telah lewat berlari cepat, meninggalkan jejak kabur bernama memori, kisah cinta itu masih saja indah bersemi. Hampir tiga putarran musim cerita ini kutulis bersama-samanya. Dan apakah aku bahagia? Ya. Tentu saja.
Seperti saat ini, ketika kuhabiskan soreku duduk berdua dengannya di tangga depan sekolah, menikmati sepoi angin dan lembutnya cahaya matahari yang menerangi.
Tiba-tiba, dalam keheningan yang terjaga baik selama beberapa menit tadi, digenggamnya tanganku.
“Aku senang hari ini,” ucapnya lirih, tulus. “Makasih, ya.”
“Ha?” Kutolehkan kepalaku, bingung. “Senang? Senang kenapa?”
“Karena kamu,” jawabnya.
Aku semakin tak mengerti. “Kenapa karena aku? Aku nggak ngapa-ngapain hari ini. Malah tadi kamu bilang aku hostile. Galak. Whatever. Kenapa karena aku?”
Ia menghela napas. Kembali dirogohnya ransel birunya, mengeluarkan buku catatan harian wajib yang setiap hari harus diisinya. Sebuah prosedur menarik sekaligus unik dari masa orientasi siswa sekolah ini. Dibolak-baliknya halaman demi halaman buku catatan harian bersampul merah tersebut, menemukan sesuatu, lalu diberikannya buku itu kepadaku, masih dalam keadaan terbuka.
“Karena ini,” ujarnya lagi, kembali tersenyum, menyuruhku membaca.
Kuterima buku itu. Kulihat halaman yang membuka. Dan aku tersadar.
Tadi siang, di salah satu sesi siang yang membosankan, aku sempat iseng membuka-buka catatan harian para anggota kelas yang kubimbing. Dan dalam catatan miliknya, di salah satu halaman tengah yang masih kosong, kutulisi beberapa baris penggalan lirik sebuah lagu kenangan berdua. Selalu Denganmu, dari Tompi. Lengkap dengan sebuah smiley imut di pojok kanan, dan deretan huruf ‘ILU’ yang kuukir manis tepat di sebelahnya. Tanpa sadar, aku tersenyum. Aku bahkan lupa kalau aku menulis ini tadi siang; mungkin aku terlalu bosan sekaligus fed up dengan si ketua OSIS terkutuk untuk dapat memfokuskan pikiran.
Kuangkat wajahku, menemui parasnya yang sedang sumringah. Kuangkat alisku, sembari menghela napas panjang, saat sepasang sorot cokelat itu mengunci mataku dalam sebuah tatapan manis, penuh arti.
Aku mencintainya.
Aku sungguh mencintainya.
Aku mencintainya seperti sang rembulan mencintai malam. Seperti matahari mencintai teriknya siang. Aku mencintainya selembut daun-daun kemerahan yang jatuh menumpuk di musim gugur. Sedamai suara debur ombak yang menyapa pasir di garis pantai. Seteguh pohon beringin yang tak bergeming tertiup angin. Seindah titik-titik hujan malam yang turun membasahi tanah.
Dan saat ia berdiri, meraih ransel serta nametag norak segitujuhnya, lalu berbalik menatapku, waktu seakan tersangkut dan berhenti.
“Kamu… Mau kemana?” tanyaku tergagap, tidak siap dengan gesturnya barusan.
Perlahan, diangkatnya bahu. “Where else? Aku mau pulang,” ucapnya. “Udah sore, aku mau istirahat.”
“Tapi, tadi katanya kamu lupa bawa kunci rumah…”
Ia tergelak, mukanya memerah. “Aku… Aku tadi bohong,” desahnya. “Aku cuma mau nungguin kamu, biar bisa ngobrol sama kamu, sebentar, di sini.”
“Ha?” Aku seperti kehilangan kata-kata mendengar kalimatnya. Hatiku diterpa gelombang ketrenyuhan yang amat sangat; aku hanya bisa memandangnya, lembut bercampur haru, sembari tersenyum tulus.
Sebuah tawa kecil pun terselip keluar dari bibirnya. “Sudah ya, aku pulang dulu.”
Kusaksikan sosoknya berjalan gontai menuruni tangga, membiarkanku trerus terdiam terpaku pada punggungnya selagi ia melangkah. Diiringi tiupan angin sore yang menerbangkan ujung kemejanya, menyisir jejak rambutnya, membingkainya dalam satu lagi momen sempurna.
Mengapakah aura itu selalu saja berhasil menghipnotisku, menjadikanku diam tak berdaya di hadapan pesona dirinya?Mengapakah kehadirannya selalu sanggup menghapus segala keluhkesahku dan membuatku kembali bahagia?
Aku pun tak kuat menahan godaan untuk berteriak memanggilnya sekali lagi. “Hey!”
Ia langsung berbalik, bingung. “Apa?”
“Sampai ketemu besok!” seruku lantang, mengatupkan kedua tangan membentuk corong di sekeliling mulutku sembari tertawa lebar. “Jangan sampai telat lagi ya!”
Tulus, ia ikut tertawa. Memandangku sekali lagi, mengatakan sejuta kata tanpa perlu mengutarakannya dengan barisan kata-kata.
“Iya! Jangan khawatir, sayang…”
…Kaulah matahari dalam hidupkuDan kaulah cahaya bulan di malamkuHadirmu s’lalu akan kutungguCintamu s’lalu akan kurinduSelalu denganmu… Kasihku, slamanyaSelalu denganmu… Cintaku, bersama…Tahukah kau diriku tak sanggup hidup bila kau jauh dariku?Kuingin dipelukmu, s’lalu…

Cerpen Islami Penggugah Iman

Pudarnya Pesona Cleopatra
Kategori :
Cerpen Islami
Jumat, 29 Februari 2008 @ 23:02:49
Hits
4406
Cetak
164
Kirim
115
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal. “Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau dengan nada mengiba.Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya! Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.***Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, “tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.”Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “Kenapa Mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku,” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.“Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad nikah?”“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh pasrah.Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku, menyiapkan segalanya untukku.***Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir.“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih,” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”.“Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu.” Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya,” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.***“Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.“Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkatbareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hanadengan senyum yang kupaksakan.Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar di bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?” Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik di kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku.Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu,” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya, “Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke rumahnya.Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh di bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan kita.”Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. ”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.“Alhamdulillah, sudah,” jawabku.“Dengan orang mana?”.“Orang Jawa.”“Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”“Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.“Bagaimana itu bisa terjadi?.”“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al-Azhar yang hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali, Yasmin tidak bisa.Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir.”Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang.”Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan di bawah bantal. Di bawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba,” tulis Raihana.Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu, melabuhkan derita jiwa ini ke hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana.Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.“Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apasebenarnya yang telah terjadi.“Raihana…, istrimu….istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.“Ada apa dengan dia?”“Dia telah tiada.”“Ibu berkata apa!”“Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.“Ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.-----------------------------------Potongan dari Novel: Habiburrahman El Shirazy, Pudarnya Pesona Cleopatra (Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa)

 
Blogger Templates by Wishafriend.com